Spiritual News (Sabtu,
04 Maret 2017 // 20:57 // Penulis : MM).
Jaka Tingkir adalah putra dari Ki Kebo Kenanga yang sering
disebut Ki Ageng Pengging, putra Pangeran Handayaningrat, seorang bangsawan keturunan
Majapahit yang disebut juga Ki Ageng Pengging Sepuh yang menikahi Ratu
Pembayun, putri bungsu Prabu Brawijaya. Mereka adalah orang-orang keturunan
Majapahit yang bersama dengan para angkatan tua lainnya memilih mati ketika
para Wali dan prajurit Demak datang untuk menawan dan membawa mereka untuk
diadili di Demak, namun kemudian keluarga-keluarga mereka habis dibantai oleh
prajurit Demak di bawah pimpinan para Wali. Bayi Jaka Tingkir berhasil
diselamatkan oleh Sunan Kalijaga setelah mata batin Sunan Kalijaga melihat
sebuah sinar terang yang bersinar bercahaya di wajah bayi itu, cahaya wahyu
keprabon. Dalam pandangan mata batinnya, bayi itu adalah penerus raja-raja
Majapahit dan wahyunya sudah turun kepadanya. Kemudian bayi itu diserahkannya
kepada Nyai Tingkir di pengungsian, yang suaminya juga telah tewas dalam
pembantaian oleh prajurit Demak. Sejak kecil Jaka Tingkir (Mas Karebet) senang
mengembara, ke gunung-gunung, ke bukit-bukit, keluar masuk hutan, mendatangi
tempat-tempat wingit dan angker atau pun menyepi di goa-goa.
Jaka Tingkir adalah seorang anak yang bandel dan tak pernah
kapok walaupun seringkali dimarahi oleh ibu angkatnya, Nyai Tingkir, karena
sering tidak pulang dan jarang sekali berada di rumah. Wataknya keras
digembleng oleh alam, tetapi menjunjung tinggi sikap ksatria dan tanggung
jawab. Ia suka sekali datang ke tempat-tempat berbahaya dan
"terlarang". Menyusup dan mengobrak-abrik sarang penyamun adalah
kegemarannya. Semakin berbahaya situasinya, semakin menarik dan menantang baginya.
Di setiap tempat yang dikunjunginya Jaka Tingkir selalu menyempatkan diri untuk
menimba ilmu kesaktian kanuragan maupun kesaktian gaib. Selain sering menyepi
dan bertapa di goa-goa dan melatih sendiri keilmuannya, Jaka Tingkir juga
sering mendatangi panembahan-panembahan dan begawan untuk belajar agama dan
memperdalam keilmuannya. Semakin bertambah usianya semakin bertambah ilmunya,
sehingga ia memiliki kesaktian yang sulit sekali dicari tandingannya di antara
anak-anak lain seusianya pada masanya.
Kesaktian Jaka Tingkir menjadi semakin matang setelah ia
bertemu dan digembleng oleh Ki Kebo Kanigara, kakak dari ayahnya, yang walaupun
berilmu tinggi dan mampu menjungkir-balikkan prajurit Demak dan para Wali yang
menjadi pemimpinnya, tetapi memilih menyingkir, menjauhi intrik-intrik
kekuasaan. Sekalipun Jaka Tingkir tidak berguru kepadanya, tetapi ia menerima
gemblengannya juga. Jaka Tingkir banyak menerima gemblengan dari banyak orang,
karena ia mampu merendahkan hati dan menghormati semua orang dan mau belajar.
Dan keunikannya, walaupun ia hanya menerima sedikit-sedikit ilmu, tetapi ia
mampu mempelajari aspek filosofi dan spiritual dari keilmuannya tersebut,
sehingga ia dapat mengembangkan ilmunya menjadi tumbuh besar berbuah dan matang
di dalam dirinya. Jaka Tingkir menjadi satu dari sedikit orang yang mewarisi
kesaktian ilmu-ilmu tua jaman Singasari dan Majapahit. Ia juga mendapatkan hati
dan simpati dari orang-orang tua berdarah Majapahit. Jaka Tingkir tanpa
sadarnya telah membentuk dirinya menjadi wadah yang tepat dari wahyu raja dan
wahyu keilmuan yang telah ada di dalam dirinya.
Setelah mendapat restu dari pamannya Ki Kebo Kanigara dan
ibunya Nyai Tingkir, berangkatlah Jaka Tingkir ke Demak. Masih terbayang-bayang
dalam pikirannya, pertemuannya dengan Sunan Kalijaga yang menyuruhnya mengabdi
ke Demak. "Kamu adalah penerus raja-raja leluhurmu. Kamu bukan orang
biasa. Kamu adalah Anak Majapahit". Antara percaya dan tidak atas
kata-kata itu, Jaka Tingkir terus merenungkannya dalam hatinya. Sedikit banyak
Jaka Tingkir berharap pada kebenaran kata-kata Sunan Kalijaga, karena di
matanya, beliau adalah tokoh pengayom masyarakat yang dapat dijadikan tempat
bernaung. Sunan Kalijaga adalah tokoh yang sangat ia hormati selain Syech Siti
Jenar. Mereka adalah tokoh-tokoh yang sangat populer di kalangan rakyat.
Walaupun ia sendiri tidak mengenal tokoh Syech Siti Jenar secara langsung, dan
banyak hasutan dan fitnah dialamatkan kepadanya, tetapi dari cerita di
masyarakat Jaka Tingkir dapat mengenal kearifannya, seorang tokoh agama yang
selalu mengajarkan keluhuran budi, dan tidak pernah mengajarkan penindasan,
penganiayaan atau pun pembunuhan kepada orang lain walaupun berbeda keyakinan,
karena untuk dapat sampai kepada Tuhan harus didasari kesucian hati dan kasih, bukan
kemunafikan dan kebencian.
Sesuai petunjuk ibunya, Jaka Tingkir tinggal di rumah
pamannya yang menjadi penjaga mesjid di Demak, supaya lebih mudah mengambil
kesempatan saat ada penerimaan prajurit baru. Sekalipun ia bukan penganut agama
Islam, tetapi ia rajin membantu pamannya merawat dan membersihkan mesjid. Ia
juga sering berdiam di pojok belakang mesjid yang gelap dan sepi untuk tidur
atau bersemadi. Seringkali ia melamun merenungkan arti kata-kata Sunan
Kalijaga. "Berhati-hatilah dalam setiap tindakanmu, karena kamu akan
banyak menjadi batu sandungan bagi orang lain. Jagalah, jangan sampai
perilakumu membuatmu jauh dari jalanmu yang seharusnya. Raja-raja yang sekarang
berkuasa, bukanlah raja-raja yang sesungguhnya. Mereka hanyalah kerikil di dalam
sejarah tanah Jawa. Janganlah kamu terbawa arus dalam kekisruhan politik. Dan
jangan kamu mengumbar emosimu dan menonjolkan kesaktianmu. Akan tiba dengan
sendirinya bahwa kamulah yang akan menjadi pewaris tanah Jawa". Ketika
tiba saatnya Sultan Trenggana, raja Demak, akan sholat Jum'at di mesjid, banyak
rakyat mengerumuni dan menyambut kedatangannya.
Jaka Tingkir juga ikut di dalam kerumunan orang di luar
halaman mesjid. Ketika sang raja sudah dekat, semua orang menunduk menyembah
memberi hormat. Begitu juga Jaka Tingkir. Tetapi ia terlambat menyadari ketika
orang-orang lain di sekitarnya mundur untuk memberi jalan kepada rajanya, ia
masih diam berjongkok di tempatnya. Ketika sang raja sudah dekat di hadapannya,
Jaka Tingkir gugup dan sambil berjongkok menghormat kepada rajanya, ia melompat
mundur sejauh-jauhnya, sampai melewati blumbang parit kecil di belakangnya. Tak
urung perilakunya itu diperhatikan oleh sang raja. Sultan Trenggana yang juga
memiliki kesaktian tinggi sempat melihat cara Jaka Tingkir melompat mundur.
Beliau maklum bahwa sang anak muda karena gugupnya, kemudian melompat mundur
sampai jauh melewati blumbang. Mungkin banyak orang yang dapat menirukan
melompat mundur melewati blumbang itu. Tetapi yang beliau terkesan adalah
sambil berjongkok menyembah, sang anak muda melompat mundur, dan posisi
melompatnya pun masih tetap berjongkok menyembah dan kedua kakinya itu hampir
tidak kelihatan bergerak melakukan lompatan, seperti melayang mundur dalam
posisi berjongkok menyembah. Beliau maklum, anak muda ini pasti bukan orang
biasa.
Ilmu meringankan tubuhnya baik sekali. Seusai sholat Jum'at,
sang Sultan mencari keberadaan sang anak muda, tetapi tidak ditemukannya di
antara orang-orang yang beribadah di mesjid dan juga tidak ada di halaman
mesjid. Jaka Tingkir memang tidak berada di sekitar mesjid karena ia tidak ikut
beribadah. Maka sang Sultan bertanya tentang sang anak muda yang dilihatnya
melompat mundur melewati blumbang kepada sang penjaga mesjid. Sambil memohon
ampun bahwa mungkin tindakan anak muda itu tidak berkenan bagi sang raja, paman
Jaka Tingkir itu mengatakan bahwa anak muda itu adalah keponakannya yang baru
datang dari desa untuk mencari peruntungan di Demak. Sang raja mengernyitkan
dahi seolah tak percaya sang penjaga mesjid mempunyai keponakan yang sebagus
itu ilmunya. Kemudian ia memberi nasehat supaya keponakannya itu nanti ikut melamar
dalam penerimaan prajurit baru di Demak. Sebulan kemudian diadakanlah
penerimaan prajurit baru di kerajaan Demak. Jaka Tingkir pun ikut mendaftar.
Walaupun tubuhnya tidak tampak kuat gempal berotot seperti
kebanyakan peserta yang mendaftar, tetapi dengan posturnya yang tinggi, ramping
dan tegap, Jaka Tingkir mampu melewati semua tahapan ujian dengan memuaskan.
Akhirnya, dengan diterimanya Jaka Tingkir sebagai prajurit baru, dimulailah
kehidupannya yang baru di dalam lingkungan kerajaan Demak. Beberapa waktu
kemudian diadakanlah ujian kenaikan pangkat. Jaka Tingkir dapat secara
memuaskan melewati semua ujian. Bahkan seolah-olah tidak ada kesulitan baginya
dalam menjalani semua tes yang diadakan, sehingga membuat penasaran para
pengujinya, karena itulah Jaka Tingkir, yang masih berpangkat prajurit, sampai
diadu bertarung melawan senior-seniornya yang berpangkat kepala prajurit. Bukan
hanya satu melawan satu, tetapi melawan 3 orang kepala prajurit sekaligus.
Sultan Trenggana yang ikut melihat adu tanding tersebut dapat menilai, bahwa
selain Jaka Tingkir dapat mengimbangi ke 3 orang kepala prajurit tersebut,
dapat dilihatnya juga bahwa Jaka Tingkir menyimpan kemampuan yang melebihi ke 3
orang tersebut tetapi tidak diperlihatkannya.
Bahkan mungkin anak muda itu dapat mengalahkan mereka semua
bila dikehendakinya. Diam-diam iapun merasa kagum. Anak muda itu adalah yang
dahulu dilihatnya di dekat mesjid. Masih sangat muda tetapi memiliki kemampuan
yang bahkan lebih tinggi dibandingkan senior-seniornya. Wajahnya pun bersih dan
bersinar, tampak nyata saat dibandingkan dengan prajurit-prajurit lain ketika
berdiri di dalam barisan. Maka atas keputusan Sultan Trenggana, Jaka Tingkir
bukan hanya dinaikkan pangkatnya, tetapi juga dijadikan anggota khusus penjaga
bagian dalam keraton dan juga diangkat menjadi anggota pasukan khusus pengawal
raja. Jaka Tingkir menonjol kecerdasan dan keprigelannya dan disukai oleh
teman-temannya. Ia juga dipercaya dan diandalkan untuk mengawal raja,
permaisuri atau anak-anak raja ketika bepergian keluar istana. Dan sebagai
anggota khusus penjaga bagian dalam istana, ia bebas berkeliling memeriksa
setiap pelosok bagian istana. Hanya bagian dalam kamar raja, anak raja dan
kaputren saja yang tidak boleh dimasukinya. Kedekatan Jaka Tingkir dengan
anggota keluarga raja menumbuhkan percintaan Jaka Tingkir dengan putri bungsu
raja. Hingga suatu saat mereka tertangkap basah oleh Sultan Trenggana saat
sedang berduaan di taman kaputren pada malam hari.
Sekalipun kejadian itu merupakan aib bagi raja dan keluarga
raja, tetapi di dalam kemarahannya Sultan Trenggana tetap dapat berpikir bijak.
Ia mengusir Jaka Tingkir keluar istananya dan melarangnya berada di Demak atau
sekitarnya. Dan kepada semua orang yang mengetahui kejadian itu
diperintahkannya tutup mulut. Bahkan disiarkannya kabar bahwa Jaka Tingkir
pergi diusir dari istana karena berkelahi dan membunuh temannya sesama pengawal
raja, Dadung Awuk. Jadilah Jaka Tingkir kembali mengembara di alam bebas,
keluar jauh dari lingkungan istana. Beberapa kali Jaka Tingkir tinggal bersama
pamannya Ki Kebo Kanigara dan kembali menikmati penggemblengan kebatinan,
spiritual dan kanuragan. Bersama pamannya dan beberapa pengikutnya, serta
beberapa tokoh tua jaman Majapahit, mereka menjauhi dunia perpolitikan dan
merahasiakan identitas mereka sebagai keturunan Majapahit, yang dapat dipandang
sebagai duri bagi kerajaan Demak. Pada masa itu terjadi banyak sekali
persaingan untuk memperebutkan tahta kerajaan Demak. Bahkan di luar istana,
banyak kalangan dari dunia hitam yang juga bersaing memperebutkan tahta Demak.
Bahkan simbol kekuasaan kerajaan saat itu, yaitu sepasang
pusaka keris sakti Nagasasra dan Sabuk Inten, telah lama hilang dicuri orang.
Kerajaan Demak telah mengerahkan prajurit telik sandinya untuk mencari dan
membawa pulang keris-keris tersebut, tetapi tidak juga dapat ditemukan
keberadaannya. Pada masa itu berkembang suatu keyakinan, bahwa siapapun yang
berhasil mendapatkan dan menguasai pusaka Nagasasra dan Sabuk Inten, akan lebih
mudah jalannya menuju kekuasaan dan menjadi raja tanah Jawa. Dengan demikian
pusaka-pusaka itu menjadi incaran banyak orang, bukan hanya menjadi incaran
orang-orang di lingkungan kerajaan, tetapi juga orang-orang dari luar kalangan
istana, termasuk juga dari kalangan dunia persilatan golongan hitam. Di dunia
persilatan saat itu seringkali terjadi bentrokan antara golongan putih dan
golongan hitam. Hutan Mentaok, Gunung Tidar dan Gunung Merapi banyak dijadikan
sarang oleh banyak kelompok penyamun. Masing-masing dipimpin oleh tokoh yang
sakti.
Golongan hitam, yang kebanyakan adalah kelompok-kelompok
perampok dan penyamun, diperangi oleh kelompok golongan putih yang membela
kebenaran dan melindungi rakyat. Jaka Tingkir dan kelompok pamannya yang
tergolong sebagai golongan putih aktif memerangi golongan hitam. Mereka juga
ikut membantu pihak kerajaan dengan cara yang tidak tampak di permukaan, untuk
menemukan pusaka-pusaka kerajaan yang hilang. Sekalipun kelompok mereka
dimusuhi oleh pihak kerajaan, tetapi didasari oleh budi pekerti yang tinggi,
mereka tidak memusuhi kerajaan. Siapapun rajanya, akan mereka dukung, selama
raja itu menjunjung tinggi kebenaran dan melindungi rakyatnya. Akhirnya mereka
berhasil merampas kembali pusaka-pusaka kerajaan Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten
dari tangan kelompok golongan hitam setelah menumpas tokoh-tokoh pemimpin dan
para pengikutnya, dan menyerahkan keris-keris itu kembali kepada raja Demak
Sultan Trenggana.
Kepada mereka semua yang telah berjasa mengembalikan
pusaka-pusaka tersebut, Sultan Trenggana memberikan hadiah besar. Kelompok Jaka
Tingkir dan pamannya Kebo Kanigara pun tidak lagi dimusuhi oleh pihak kerajaan,
karena selain telah berjasa kepada kerajaan, mereka juga menyatakan janji setia
kepada kerajaan, siapapun rajanya, selama sang raja menjunjung tinggi kebenaran
dan melindungi rakyatnya. Bahkan Sultan Trenggana mengijinkan putri bungsunya
dinikahi oleh Jaka Tingkir, sesuai nasehat dari Sunan Kalijaga, bahwa Jaka
Tingkir adalah seorang keturunan Majapahit yang nantinya akan menjadi penerus
raja-raja Majapahit. Bila tiba saatnya Jaka Tingkir menjadi raja, maka
keturunannya adalah juga keturunan Sultan Trenggana melalui putrinya yang
menjadi istri Jaka Tingkir. Setelah menjadi menantu raja Demak, Jaka Tingkir
diangkat menjadi Adipati di Pajang, dan sebutannya menjadi Kangjeng Adipati
Adiwijaya.(MM)
Komentar
Posting Komentar