Spiritual News (Ahad, 05 Maret 2017 // 07:56 // Penulis : MM).
Pada tahun 1440-an ada seorang pelaut dari banjar yang sudah
memeluk agama Islam tengah melakukan pelayaran di laut Jawa, persisi di utara
desa Banjaranyar. Kapal yang tengah berlayar itu tertimpa musibah sehungga
karam di lautan. Sedangkan mbah Banjar terdampar di tepian pantai desa
Banjaranyar yang pada waktu itu masih berbnama kampong njelaq, mbah Banjar
kemudian ditolong oleh mbah Mayang Madu, seorang penguasa di kampong njelaq
yang berasal dari Solo dan merupakan penganut ajaran agama Hindu.
Pada
saat itu, keadaan perkehidupan masyarkat njelaqmasih dipenuhi dengan berbagai
macam kepercayaan terhadapkekuatan ghaib dan roh-roh leluhur, animisme dan
dinanisme, adapun agama yang sedang berkuasa di pulau Jawa pada masa itu adalah
agama Hindu dan Budha.
Melihat
kedaan dan situasi masyarakat yang sudah terseret kedalam lembah kesesatan dan
kemusyrikan ini, beliau terketuk hatinya untuk berusaha menyebarkan ajaran
agama yang haq, yaknidienul Islam demi li ila kalimatillah. Akhirnya
beliau menetap di kampung Njelaq untuk memulai tugas sucinya. Pertama-tama
beliau mengajak Mbah Mayang Madu agar mau mengikuti jejaknya. Dengan penuh kesabaran
dan keikhlasan beliau berda’wah kepada masyarakat kampong njelaq dan sekitarnya
Berkat
keteguhan, kesabaran dan ketekunan beliau dalam berjuang akhirnya beliau
berhasil meng-Islamkan Mbah Mayang Madu. Dengan masuk Islamnya Mbah Mayang Madu
maka hal ini mempunyai arti yang sangat penting bagi proses penyebaran Islam
selanjutnya, karena mbah Mayang Madulah yang menyokong dan memberi dukungan
penuh kepada baliau serta tidak segan-segan membantu mbah Banjar demi
tercapainya tujuan yang mulia itu. Untung mengenang jasa-jasa di dalam merintis
jalan dalam menyebarkan Islam di daerah tersebut, maka desa ini yang asalnya
bernama kampong njelaq, diganti menjadi desa Banjaranyar, dengan demikian
bertambah luaslah wilayah penyebaran Islam.
Selanjutnya,
beliau bersama Mbah Mayang Madu saling bahu-membahu di dalam memperjuangkan
misi sucinya, yakini menyebarkan ajaran Illahi yang agung demi tegaknya kalimat
tauhid “laa ilaha illallah”. Dengan berbagai macam rintangan mereka hadapi
dengan penuh kesabaran, ketabahan dan semangat perjuangan.
Pada
suatu saat, Mbah Banjar berunding dengan Mbah Mayang Madu untuk mewujudkan
keinginan beliau yaitu mendirikan tempat pondokan di desa Banjaranyar,
namunagaknya hal tersebut menemui kendala dikarenakan tidak adanya tenaga
pengajar yang ahli dan menguasai bidang tersebut. Akhirnya Mbah Banjar bersama
dengan Mbah Mayang Madu sowan menghadap kanjeng Sunan Ampel di Ampeldenta,
Surabaya. Di sana beliau menyampaikan keinginannya untuk nmendirikan pondok
pesantren dan sekaligus mohon bantuan tenaga pengajar yang ahli dibidang
ilmu-ilmu Diniyah. Kanjeng Sunan Ampel sangat senang mendengar tujuan beliau
dan dengan senang hati beliau mengabulkan permohonan dan berjanji akan
menugaskan putranya, R. Qosim untuk pergi ke Banjaranyar agar dapat membantu
perjuangan Mbah Banjar dan Mbah Mayang Madu di tempat tersebut.
Di
situlah R. Qosim mulai merintis pondok, tempat pendidikan Islam, sebagai bukti
nyata adalah peninggalan beliau yang berupa sumur, tempat wudlu’ (padasan)dan
musholla yang dibangun di atas pondasi bekas langgar dimana R. Qosim mangajar
yang sampai sekarang masih ada dan dapat di manfaatkan.
R. Qosim
atau Kanjeng Sunan Drajat dikenal sebagai seorang ulama’ yang berjiwa sosial
tinggi, perjuangan beliau lebih dititik beratkan pada da’wah bil hal dan
usaha-usahanya untuk meninggalkan ksejahteraan social dan upaya mengentas
kemiskinan seperti menyantuni anak yatim, faqir miskin, menolong orang yang
lemah dan sebagainya. Diantara ajaraajaran beliau yang terkenal adalah :
Wenehono
teken marang wong kang wuthoWenehono mangan marang wong kang luweWenehono
busono marang wong kang wudhoWenehono iyupan marang wong kang kudananMaksud
dari paada ajaran-ajaran tersebut, adalah antara lain bahwa manusia sebagai
makhluq yang berakal budi dianjurkan :
Memberikan
ilmu agar orang menjadi pandai berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat
yang miskinMengajari kesusilaan terhadap orang yang tidak punya rasa
malu memberikan perlindungan kepada orang yang lemah/menderita
hingga
saat ini ajaran-ajaran beliau tersebut sama sekali tiada bertentangan dengan
keadaan, situasi dan kondisi alam pemikiran masyarakat pada umumnya, hal ini
secara jelas menunjukan bahwa R. Qosim merupakan sebuah figur ulama yang
berpandangan luas dan jauh ke depan, berkepribadian penyantun dan welas asih
serta ucapannya penuh dengan nilai hikmah yang tinggi.
Dalam
usahanya untuk menyebarkan agama Islam kepada masyarakat yang ada di
sekitarnya, R. Qosim juga menggunakan pendekatan seni budaya. Pendekatan ini dilakukan
dengan menggunakan metode kesenian guna menarik perhatian masyarakat sekitar
yang pada waktu itu masih beragama Hindhu-Budha. Sehingga karena itulah beliau
menciptakan tembang pangkur dan menggunakan alunan suara gamelan atau gending
untuk mengumpulkan masa di masjid yang telah didirikan oleh Mbah Mayang Madu
tersebut dinamakan masjid Nggendingan. Demikian luwesnya R. Qosim dalam
memfungsikan masjid benar-benar mengena di masyarakat.
Adapun
cara R. Qosim untuk menarik minat masyarakat agar mau mempelajari dan mendalami
ilmu diniyah, maka beliau menjanjikan bagi siapa saja yang mau belajar
kepadanya bahwa ia akan mempaeroleh derajat yang luhur. Maka dari itu tempat di
mana beliau mengajar ilmu agama tersebut dinamakan dengan rumah Drajat.
Tidak
beberapa lama kemudian Mbah Banjar berpulang ke Rahmatullah. Beliau dimakamkan
di desa Banjaranyar bagian utara.
Beberapa
tahun kemudian, Mbah Mayang Madu pun wafat, beliau dimakamkan di belakang
masjid Jelaq dan mendapat julukan Sunan Jelaq.
Sepeninggalan
Mbah Banjar dan Mbah Mayang Madu, maka tinggallah Kanjeng Sunan Drajat yang
melanjutkan usaha-usaha yang sebelumnya dirintis oleh beliau bersama almarhum.
Dalam
perjuangannya beliau dibantu oleh para santrinya yang menjadi pembantu setia
dalam mengemban misi. Suka duka perjuangan silih berganti mewarnai kehidupan
Kanjeng Sunan Drajat dan para santrinya di Banjaranyar. Masa-masa sulit beliau
jalani dengan tabah dan tawakal. Saegala macam rintangan dan halangan yang
dating silih berganti dari orang-orang yang iri dan dengki serta usaha-usaha
yang dilakukan untuk menjegal perjuangan, beliau hadapi dengan tenang.
Pernah
suatu hari beliau dilempari batu oleh penduduk desa setempat ketika sedang
berda’wah, namun beliau tetap bersiteguh untuk berjuang di jalan Allah swt. Dan
untuk mengenang peristiwa tersebut, maka kampung tersebut dinamakan kampung
Mbandilan yang sekarang telah menjadi areal pondok pesantren Sunan Drajat pula.
Waktupun
terus berlalu, kian hari perkembangan pondok pesantren di Banjaranyar mengalami
kemajuan yang sangat pesat, sikap permusuhan yang dating dari para penduduk
berubah menjadi kecintaan yang dalam. Para pemuda banyak yang berdatangan dari
daerah-daerah ke pondok pesantren guna menimba ilmu agama kepada beliau. Mereka
itulah yang kemudian dikader menjadi para da’I dan mubaligh yang tangguh, tabah
dan berkompeten lalu disebarkan kepelosok negeri atau kembali ke kampung
halamannya sambil membawa misi Islam.
Keberhasilan
perjuangan Kanjng Sunan Drajat di Banjaranyar tidaklah membuat beliau menjadi
puas, lalu duduk berpangku tangan sambil berongkang-ongkang kaki menikmati
hasil perjuangannya, akan tetapi hal tersebut justru mendorong beliau untuk
lebih giat dalam mengembangkan agama Islam tempat lain. Karena itulah, beliau
membangun sebuah masjid di kamoung sentoro yang letaknya persis di sebelah
timur komplek makam Sunan Drajat, seabagai tempat beliau memberikan pengajian
mengajar dan emndidik para santrinya. Desa di mana beliau mendirikan masjid
tersebut akhirnya diberi nama desa Drajat, adapun masjid yang telah dibangun
Kanjeng sunan Drajat sendiri pada tahun 1424 Jawa atau 1502 M. kini telah
musnah akibat gempa bumi yang pernah terjadi dua ratus tahun yang silam, namun
sebagai gantinya, di tempat tersebut kini telah didirikan masjid yang
direnovasi sebagaiman bentuk aslinya.
Pada
masa Kanjeng Sunan Drajat inilah desa Banjaranyar, Drajat dan sekitarnya
menjadi sentral pendidikan dan aktifitas keagamaan serta menjadi mercusuar
penyebaran Islam di daerah pesisir pantai utara khususnya di daerah Paciran.
Akhirnya beliau wafat pada tanggal 25 Sya’ban dan dimakamkan di belakang masjid
tempat beliau mengajar sebagaimana yang telah kita saksikan saat ini.
Dalam
kehidupan berumah tangga. Kanjeng Sunan Drajat mempunyai dua istri beliau yang
pertama adalah putri Mbah Mayang Madu yang makamnya terletak di belakanhg masjid
Jelaq, Banjaranyar dank arena itulah setelah Mbah Mayang Madu meninggal.
Kanjeng Sunan Drajat mendapatkan gelar Sunan Mayang Madu. Adapun istri beliau
yang kedua adalah seorang putri Kediri yang bernama Retno Condro Sekar Putri
Adipati Surya dilaga, beliau dimakamkan berdampingan dengan makam Kanjeng Sunan
Drajat. Dari kedua istri beliau inilah Kanjeng Sunan Drajat mendapat keturunan
yang akhirnya berkembang dalam suatu keluarga besar yang tersebar hingga saat
ini.
Sepeninggalan
Kanjeng Sunan Drajat. Tongkat estafet perjuangan diteruskan oleh para keturunan
beliau. Namun lambat laun, perkembangan pondok pesantren di Banjaranyar
mengalami kemunduran seiring dengan perjalananwaktu dan akhirnya lenyap tanpa
bekas, yang tertinggal hanya pondasi bekas musholla dan sumur yang tertimbun
tanah sebagai saksi bisu terhadap sejarah yang pernah tergores di atasnya. Keadaan
tatanan kehidupan masyarakat pada waktu itu benar-benar memprihatinkan. Tempat
di masa Islam pertama kali berkembang, saat itu telah menjadi pusat kegiatan
kemaksiatan dan kemusyrikan. Di desa Banjaranyar muncullah beberapa tempat
pelacuran, gedung-gedung pertunjukan yang menjadi ajang kemungkarang, munculnya
beberapa germo dan Bandar judi nyang terkenal di daerah pesisir utara pada masa
itu. Bahkan tanah bekas pondok pesantren yang didirikan oleh Kanjeng Sunan
Drajat dijadikan sebagai tempat pemujaan. Namun kejadian-kejadian tersebut
segera berakhir setelah di tanah bekas pondok tersebut didirikan kembali pondok
pesantren yang bertujuan untuk meneruskan perjuangan yang telah dirintis oleh
Wali songo.
Pada
tahunn 1977, berdirilah “pondok pesantren Sunan Drajat” dengan pengasuh tunggal
serta generasi muda, beliau inilah sebagai penerus dan pembangkit tenggelamnya
sejarah dan penyebar Islam.
Siapakah
beliau tersebut? Tidak lain adalah Prof. DR. KH. Abdul Ghofur. Dengan malang
melintang serta usaha yang tak kunjung padam, sehingga saat ini perkembangan
pondok pesantren Sunan Drajat semakin mencuat dan maju sebagaiman tuntunan
zaman. Perkembangan tersebut sengaja tidak kami muat, agar pembaca melihat
sendiri dari dekat.
Demikianlah
sekilas hikayat sejarah masuknya agama Islam dan perkebangannya di pesisir
pantai utara kabupaten Lamongan khususnya di wilayah Paciran yang tidak lepas
kaitannya dari perjuangan dan jasa Mbah Banjar, Mbah Mayang Madu dan Wali
songo, dalam hal ini adalah Kanjeng Sunan Drajat atau Sunan Mayang Madu. Karena
itulah untuk mengenang jasa-jasa beliau semua, maka di setiap tanggal 23-24
Sya’ban pondok pesantren mengadakan acar Haul akbar yang bersamaan dengan acara
haulnya Mbah Martokan, ayahanda Romo K.H. Abdul Ghofur. (MM)
Komentar
Posting Komentar