Spiritual News (Ahad, 05 Maret 2017 // 09:20 // Penulis : MM).
Syeh
Jumadil Kubro adalah salah seorang ulama besar yang merupakan bibit kawit atau
cikal bakal dalam penyebar agama Islam di pulau Jawa. Syekh Jumadil Qubro yang
berasal dari Samarkand, Uzbekistan, Asia Tengah ini, diyakini sebagai keturunan
ke-10 dari al-Husain, cucu dari Nabi Muhammad SAW. Pada awalnya, Syekh Jumadil
Qubro dan kedua anaknya, Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) Maulana Ibrahim
Samarqandi dan Maulana Ishaq, datang ke pulau Jawa.
Setelah
itu mereka berpisah yaitu Syekh Jumadil Qubro tetap berada di pulau Jawa,
sedang Maulana Malik Ibrahim ke Champa, di sebelah selatan Vietnam, yang
kemudian mengislamkan Kerajaan Campa. Sementara adiknya, yaitu Maulana Ishaq
pergi ke Aceh dan mengislamkan Samudra Pasai. Dengan demikian, silsilah dari
beberapa Walisongo yaitu Sunan Ampel (Raden Rahmat), Sunan Giri (Raden Paku)
adalah cucunya, sedangkan Sunan Bonang, Sunan Drajad dan Sunan Kudus adalah
cicitnya. Hal itulah yang menyebabkan adanya pendapat yang mengatakan bahwa
para Walisongo merupakan keturunan etnis Uzbek yang dominan di Asia Tengah,
selain itu juga ada kemungkinan lainnya yaitu etnis Persia, Gujarat, ataupun
Hadramaut.
Kemudian
beliau dakwah bersama para ulama termasuk para putra-putri dan santrinya menuju
ke tanah Jawa. Mereka menggunakan tiga kendaraan laut, sekaligus terbagi dalam
tiga kelompok dakwah. Kelompok pertama, dipimpin Syeikh Jumadil Kubro memasuki
tanah Jawa melalui Semarang dan singgah beberapa waktu di Demak. Selanjutnya
perjalanan dilanjutnya menuju ke Majapahit dan berdiam di sebuah desa kecil
yang bernama Trowulan letaknya berada di dekat kerajaan Majapahit. Kelompok
kedua, terdapat cucunya yang bernama al-Imam Ja’far Ibrahim Ibn Barkat Zainal
Abidin dibantu saudaranya yakni Malik Ibrahim menuju kota Gresik. Dan kelompok
ketiga, adalah jamaah yang dipimpin putranya yakni al-Imam al-Qutb Sayyid
Ibrahim Asmoro Qondy menuju Tuban. Namanya masyhur dengan sebutan “Pandhito
Ratu” karena beliau memperoleh Ilmu Kasyf (transparansi dan
keserbajelasan ilmu/ilmu yang sulit dipahami orang awam, beliau diberi
kelebihan memahaminya).
Perjalanan
dakwah Syeikh Jumadil Kubro berakhir di Trowulan, Mojokerto. Beliau wafat tahun
1376 M, 15 Muharram 797 H. diperkirakan hidup diantara dua Raja Majapahit yaitu
pada awal Raja Tribhuwana Wijaya Tunggadewi dan pertengahan Prabu Hayam Wuruk.
Bermula dari usul yang diajukan Syeikh Jumadil Kubro kepada penguasa Islam di
Turki (Sultan Muhammad I) untuk menyebarkan Agama Islam di wilayah Kerajaan
Majapahit. Karena, pada saat itu wilayah Majapahit sangat kuat pengaruh Agama
Hindunya di samping keyakinan masyarakat pada arwah leluhur dan benda-benda
suci. Sehingga, keberadaannya di tanah Majapahit hingga ajal menjelang
menunjukkan perjuangan Sayyid Jumadil Kubro untuk menegakkan Agama Islam
melawan penguasa Majapahit sangatlah besar.
Karena
pengaruh beliau dalam memberikan pencerahan bekehidupan yang berperadaban,
Syeikh Jumadil Kubro dikenal dekat dengan pejabat Kerajaan Majapahit. Cara
beliau berdakwah yang pelan tapi pasti, menjadikan beliau amat disegani. Tak
heran, bila pemakaman beliau berada diantara beberapa pejabat kerajaan
Majapahit di antaranya adalah makam Tumenggung Satim Singgo Moyo, Kenconowungu,
Anjasmoro, Sunana Ngudung (ayah Sunan Kudus), dan beberapa patih serta senopati
yang dimakamkan bersamanya.
Komplek
Pemakaman Trowulan
Trowulan
adalah kawasan bekas ibukota Kerajaan Mojopahit terletak di pinggir jalur utama
Surabaya-Jawa Tengah lewat selatan, tepatnya terletak di antara
Mojokerto-Jombang. Dari Mojokero menuju Trowulan hanya berjarak 12 kilometer,
dari Jombang jaraknya sekitar 20 kilometer, sedang dari Surabaya sekitar 65
kilometer. Di Trowulan inilah dulu menjadi tempat tinggal Raja Hayamwuruk dan
Mahapatih Gajahmada yang terkenal dalam memimpin dan memerintah Mojopahit yang
jaya. Dan di tempat inilah juga dulu Patih Gajahmada bersumpah Amukti Palapa,
sumpah legendaris yang mengantarkan Mojopahit menjadi penguasa wilayah
nusantara sampai ke Madagaskar.
Bekas
ibukota Mojopahit tersebut, masih dapat disaksikan sisa-sisa yang berupa situs-situs
purbakala yang tersebar di kawasan Trowulan dan sekitarnya. Baik berupa
bangunan candi, gapura, makam, prasasti, area, maupun benda-benda artefak
lainnya, serta yang in-situ (di lokasi asal) maupun yang telah dipindahkan ke
Museum Trowulan (exsitu) untuk berbagai alasan. Termasuk kompleks makam Syekh
Syaid Jumadil Kubro yang terdapat dalam Kompleks Makam Troloyo di Dusun
Sidodadi, Desa Sentonorejo, Trowulan, Mojokerto. Lokasi kompleks makam ini
berdekatan dengan Pendopo Agung Majapahit dan Pusat Informasi Majapahit. Sekali
dayung, maka semua tujuan napak tilas sejarah Majapahit dapat terlampaui.
Masyarakat menyakini kompleks makam itu sebagai makam Syekh Jumadil Kubro,
Syekh Abdul Qodir Jailani Sini, Syekh Maulana Skah, dan Syekh Maulana Ibrahim.
Selain itu, juga makam Walisongo, makam Sunan. Ngudung, makam Putri Keneono
Wungu, dan Anjasmoro. Selain itu, penjiarah juga bisa ke makam tujuh yang
berisi tujuh buah makam. Para peziarah itu datang dari penjuru kota, baik dari
dalam dari luar Mojokerto, serta ada pula yang datang dari luar Jawa. Peziarah
datang ke makam tersebut dengan berbagai tujuan. Ada yang datang, hanya ingin
tahu keberadaan Makam Troloyo, ada pula yang datang untuk memberikan doa kepada
leluhur Walisongo dengan membacakan ayat-ayat suci Al Quran. Tetapi ada juga
pezirah yang datang untuk mendapat ilmu relijius dari para leluhur yang berada
di makam itu. Menurut Ahmad AHun petugas penjaga makam, yang telah bertugas
sejak 2007 mengatakan biasanya penziarah yang datang dan ramai itu bila
bertepatan dengan malam Jumat legi. “Pada saat Jumat Legi, pengunjung yang
dating bisa mencapai 4.000 hingga 5000 orang lebih, baik perorangan maupun
rombongan,” terangnya.
Untuk
menjaga komplek makam, penjaga komplek makam terbagi dalam 2 shift,
setiap shift ada 2 orang penjaga. Jadi total penjaganya ada 6 orang. Kami
bertugas dari jam 07.00-19.00 wib, Haul Syech Jumadil Kubro adalah peringatan
wafatnya Syech Jumadil Kubro yang dilaksanakan setiap tahun Puncak kunjungan
wisatawan terjadi pada saat malam Jumat Legi dan setiap malam tanggal 15 Suro
(Muharram). Dalam Haul Syech Jumadil Kubro, digelar serangkaian kegiatan
keagamaan seperti Khotmil Quran, Istighotsah, Pembacaan Tahlil serta pagelaran
Seni Hadrah yang diikuti oleh peziarah dari seluruh penjuru Jawa Timur.
Menjelajahi
Komplek Makam Kompleks makam Troloyo ada dua kelompok makam. Di bagian depan
(tenggara) dan di bagian belakang (barat laut). Makam di bagian depan
diantaranya: Kelompok makam petilasan Wali Songo. Kemudian di sebelah barat
daya dikenali dengan sebutan Syech Mulana Ibrahim, Syech Maulana Sekah dan
Syech Abd, Kadir Jailani. Ada pula Syech Jumadil Kubro. Sedang di utara Masjid
terdapat makam Syech Ngudung atau Sunan Ngudung. Kompleks makam di bagian
belakang meliputi: Bangunan cungkup dengan dua makam yaitu Raden Ayu
Anjasmara Kencanawungu, kemudian terdapat pula kelompok makam yang disebut
Makam Tujuh atau Kubur Pitu yang dikenal sebagai Pangeran Noto Suryo, Patih
Noto Kusumo, Gajah Permodo, Naya Genggong, Sabdo Palon, Emban Kinasih dan Polo
Putro.
Di
bagian belakang kompleks makam Tralaya masih terdapat kompleks makam Islam
lainnya yang terkenal dengan sebutan Kubur Pitu dan secara
berturut-turut berikut ini adalah nama-nama mereka yang dimakamkan di sana:
Makam
yang dikenal dengan nama Pangeran Noto Sunjo,
Makam
yang dikenal dengan nama PatihNoto Kusumo,
Makam
yang dikenal dengan sebutan Gajah Permodo
Makam
yang dikenal dengan sebutan Naya Genggong,
Makam
yang dikenal sebagai Sabdo Palon,
Makam
yang dikenal dengan sebutan Emban Kinasih,
Makam
yang dikenal dengan sebutan Polo Putro, nisannya polos tanpa hiasan.
Ketujuh
orang tersebut merupakan para pejabat di istana kerajaan Majapahit yang
menjabat sebagai Patih, Senopati dan Abdi Dalam. Sebagian dari nisan-nisan pada
Kubur Pitu tersebut berbentuk Lengkung Kurawal yang tidak asing lagi bagi
kesenian Hindu. Melihat kombinasi bentuk dan pahatan yang terdapat pada
batu-batu nisan yang merupakan paduan antara unsur-unsur lama dan unsur-unsur
pendatang (Islam), nampaknya adanya akultrasi kebudayaan antara Hindu dan
Islam.
Sementara
itu, bila diperhatikan masih adanya kekurangcermatan dalam penulisan
kalimah-kalimah thoyyibah, hal tersebut dapat diduga bahwa para pemahat batu
nisan adalah masih pemula dalam mengenal Islam. Demikianlah dapat kita saksikan
betapa toleransinya Majapahit terhadap agama Islam, terbukti dari banyaknya
makam Islam di desa Tralaya, yang masih termasuk dalam ibu kota kerajaan. Angka
tertua yang ada di batu nisan pitu adalah tahun 1369 (saat masa di bawah
pemerintahan Raja Hayam Wuruk).
Yang
menarik pada kuburan pitu adalah berada pada batu nisannya. Walau kuburan
Islam, tetapi bentuk batu nisannya masih seperti kurawal yang mengingatkan
kala-makara, dengan tulisan berangka tahun huruf Kawi, yang berarti bahwa di
abad XIV Islam adalah agama baru bagi Kerajaan Majapahit. Tetapi sebagai unsur
kebudayaan, telah diterima oleh masyarakat. Dapat diketahui, bahwa para
pendatang dari barat maupun orang-orang Tionghoa ternyata sebagian besar mereka
beragama Islam, dan terus berkembang hingga mencapai puncaknya pada abad XVI
saat kerajaan Demak. (MM)
Komentar
Posting Komentar