Spiritual News, Sabtu, 25 Maret
2017 // 22:37 // Penulis : MM
Dapat
Firasat, Gus Dur pun Berziarah
Masyarakat sekitar menyebutnya makam Sunan Kalijaga Ma ra
Teka atau dikenal Raden Sahid Mara Teka. Sebagian masyarakat juga ada yang
menamakan makam Ploso Medalem. Tempat tersebut diyakini sebagai petilasan Sunan
Kalijaga yang ada di Tuban.
Makam tersebut terletak di Dusun Soko, Desa Medalem,
Senori. Dari pusat kota Tuban menuju lokasi makam, diperkirakan sekitar kurang
lebih 65 km. Sebelum diziarahi oleh masyarakat luar dan dibuka oleh KH.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), makam tersebut sudah ditemukan oleh seorang
penduduk setempat.
Juri
kunci makam, Ali Imron saat ditemui dilokasi makam menceritakan, sebelum dibuka
dan diresmikan oleh Gus Dur pada 1999 lalu, keberadaan makam tersebut sudah
ditemukan oleh seorang warga setempat yang bernama Mulyadi. “Mulyadi itu masih
Pak Lek kulo,”ujar Imron.
Diceritakan, saat itu pamannya termasuk orang kaya di Desa
Medalem. Namun suatu hari hartanya semakin habis, lalu membuat rumah di tengah
area ladang atau tegalan. Disitu ia hidup sendirian dan tidak punya
tetangga. Dari situlah tiap malam antara sekitar jam 21.00 hingga 23.00,
Mulyadi sering didatangi seseorang yang berpakaian serba hitam.
“Tiap hari didatangi terus. Orang itu bilang agar Pak Lek
(Mulyadi, Red) merawat makam yang masih rumbuk. Dan ternyata, ketika kesokan
harinya dicek, makam tersebut ternyata ada. Dulu tempat ini memang rungget
(banyak semaknya),” imbuh Imron.
Setelah ditemui beberapa kali, akhirnya Mulyadi datang dan
berkonsultasi kepada Kiai Baidi (ayah Gus Mad Tuban). Saat itu, Mulyadi diajak
oleh K. Baidi untuk menghadap ke K.H. Hamid Pasuruan. Saat datang ke rumahnya
Kiai Hamid, jawaban kiai tersebut sangat mengejutkan Mulyadi. Katanya kiai
Hamid juga pernah ziarah di makam tersebut. Tidak hanya itu, ia juga mengatakan
kalau nama dari makam tersebut bernama Raden Sahid Moro Teko. Setelah
ditanyakan kejelasan makam tersebut, seminggu kemudian Kiai Baedi bersama warga
setempat mulai membukanya.
“Tapi dulu kondisinya belum secerah ini, keadaannya masih banyak
semaknya. Jadi kelihatan angker. Selain itu, pemerintah dulu kan sempat
melarang untuk menziarahi,”tandasnya.
Dijelaskan Imron, saat zamannya Gus Dur menjadi presiden,
tepatnya pada 1999, makam tersebut baru dibuka dan direnovasi sedikit demi
sedikit. Kedatangan Gus Dur ke makam karena beliau dapat petunjuk, kalau ingin
negara makmur harus berziarah ke makam Sunan Kali Jaga. Saat itu Gus Dur datang
ke Kadilangu, Demak. Akan tetapi, di situ Gus Dur dapat firasat untuk ziarah ke
makam Sunan Kalijaga yang berada di Kabupaten Tuban. Dengan melalui Riyadh
Tsauri yang biasa dipanggil Gus Aya, selanjutnya mencari keberadaan makam
tersebut. Informasi yang diterima ternyata benar terdapat makam Sunan Kalijaga
yang letaknya di Dusun Soko, Desa Medalem, Kecamatan Senori. Sehingga Gus Dur
datang dan berziarah ke makam tersebut. Tepatnya pada 17 Ramadhan persisnya
1999. Pada saat itu, makam sudah mulai dibuka. “Kalau menurut penuturan Gus
Dur, yang di Kadilangu itu kantornya, akan tetapi di sini makamnya. Tapi semua
itu Allahu a’lam,” papar Imron.
Setelah ditetapkan acara haulnya, selanjutnya di tahun
2000 masehi dibentuk juru kunci oleh pihak desa dan kecamatan setempat. Dalam
musyawarah tersebut, lalu ditetapkan sebanyak 5 juri kunci. Di antaranya, Mbah
Sangep, Khoribun, Mbah Modin Wanijo, Dimiyati, dan Ali Imron. Di saat itu pula,
sekitar makam mulai dibangun dan renovasi. “Akan tetapi kelima juru kunci
tersebut empat sudah meninggal, ya tinggal saya juru kuncinya ini,” katanya.
Semilir Dinaungi Ploso Songo
Ada yang menarik, ketika berziarah di makam di Dusun Soko,
Medalem, Senori. Selain angin sawah yang semilir membelai rambut para peziarah,
makam yang berada di tengah sawah tersebut ditumbuhi pohon ploso. Karena itulah
makam tersebut dinamakan makam ploso. Hal ini, menimbulkan hawa sejuk dan
kenyamanan untuk berteduh di siang hari. Warga sekitar biasanya beristirahat di
sekitar makam sambil menjemur hasil panen di halaman makam. Dengan demikian,
makam yang berada di tengah sawah tersebut tak pernah sepi lalu lalang
aktivitas warga setempat.
Tidak hanya warga saja, bahkan peziarah pun banyak yang
beristirahat di kompleks pesarean tersebut. Salah satu peziarah, Rudi (25) dari
Kalitidu, Bojonegoro, mengatakan nyaman dan teduh ketika berada di pesarean
makam. Ketenangan ia rasakan bersama satu temannya siang itu.
Panorama
Ploso Songo yang tumbuh di kompleks makam sunan Kali Jaga, memayungi beberapa
makam aulia lainnya. Makam auliya lain yang berada dalam satu kompleks dengan
makam sunan Kali Jaga yaitu makam Syekh Badawi (Solo), makam Abdurrahman
(Janjang, Blora), Makam Dewi Amiroh (Istri Sunan Kalijaga), makam Abdul Aziz
Abdul Basith (saudara Mbah Jabbar, Nglirip, Singgahan), Mpu Supa (adik sunan
Kalijaga), Patih Wana Salam dan Abdul Qodir (putra Raden Patah), Raden
Semangun (senopati Banyuwangi), dan satu makam yang terletak 1 Km dari makam
Sunan Kalijaga yaitu makam Rasa Wulan atau dikenal dengan nama Nyai Dembaga
(adik sunan Kalijaga).
Keberadaan pohon Ploso yang memayungi pesarean dan musala,
ternyata memiliki cerita lain. Cerita tersebut merupakan simbol nama makam itu
sendiri. Sembilan pohon ploso dimaknai sebagai jumlah wali sanga. “Ada juga
yang memaknai sebagai simbul Rasulullah, empat sahabat rasul, dan empat madzab.
Ada beberapa tafsiran dari mulut ke mulut mengenai pohon ploso di makam ini,”
jelas Imron yang juga pengajar di salah satu MI di Desa Medalem.
Imron menambahkan, jauh sebelum makam ditemukan, pohon ploso
sudah ada. Sekarang pohon itu tinggal 8 batang, karena yang berada di sebelah
selatan pesarean Dewi Amiroh, tumbang.
Pesarean Berbentuk Segi Delapan
Makam
yang dulunya dipercayai sebagai rumah Sunan Kali Jaga, memang belum ditemukan
bukti peninggalan-peninggalan yang berarti, kecuali cincin dan tasbih. Akan
tetapi, peninggalan tersebut juga tidak ada artinya lagi, karena sudah raib.
Namun demikian, pesarean yang berada di bawah pohon ploso, nampak berbeda dari
pesarean-pesarean makam lainnya. Makam tersebut berbentuk segi delapan dengan
empat saka guru. Bentuk bangun tersebut berawal, ketika membuat cungkup tidak
lagi mencukupi panjang makam. Setiap cungkup diperluas dan ukuran sudah sama
dengan ukuran panjang makam, tetap saja cungkup tersebut tidak mencukupi
panjang makam. “Hari ini diukur, besuk didirikan, cungkup masih saja kurang
luas. Hal itu, berulang-ulang,” ungkap Imron.
Dari kejadian itu, warga lantas berinsiatif untuk tetap
mendirikan cungkup tersebut dengan membuat sudut baru pada sisi-sisi luar
cungkup. Akhirnya, terbentuklah cungkup segi delapan dengan pintu yang
menyudut. “Seperti itulah bentuknya, mirip pagoda di Semarang,” ungkap Imron.
Selain
itu, untuk mencukupi kebutuhan peziarah, di area kompleks makam dihadirkan pula
gentong tempat wudu dan minum. Selain itu, terdapat ruang kantor
untuk juru kunci. Sedangkan untuk menambah kekhusyukan peziarah, dibangun
sebuah musala yang nyaman untuk para peziarah. Di samping itu, acara istigosah
selapanan, rutin diadakan warga sekitar. Acara tersebut dilaksanakan setiap
kamis kliwon malam jumat legi. (MM)
Komentar
Posting Komentar