Namanya hampir terlupakan. Padahal, ia turut andil dalam penyebaran Islam di Pulau Jawa.
Spiritual News (Rabu, 05 Maret 2017 // 11.17 // Penulis : MM).
Kisah
tentang walisongo tak pernah lepas dari kesalehan dan kesaktian (karamah).
Demikian pula yang dialami oleh sunan yang lain, Sunan Sendang Duwur. Sejarah
mencatat bahwa beliau pernah memindahkan sebuah masjid dalam
semalam seperti yang dilakukan oleh Jin Ifrit pada masa Nabi
Sulaiman, saat memindahkan istana Ratu Bilqis dalam sekejap.
Kini,
masjid yang dipindahkan oleh Sunan Sendang Duwur tersebut masih berdiri kokoh
hingga sekarang dan banyak didatangi oleh para peziarah untuk melakukan ibadah
di sana.
Nama
aslinya adalah Raden Noer Rahmad. Ia putra Abdul Kohar Bin Malik Bin Sultan Abu
Yazid yang berasal dari Baghdad (lrak). Dilahirkan pada tahun 1320 M dan wafat
pada tahun 1585 M. Bukti ini dapat dilihat pada pahatan yang terdapat di
dinding makam beliau. Makamnya terletak di atas bukit. Dulu, tempat ini
merupakan candi peninggalan agama Hindu. Relief-relief candi tidak berbentuk
personifikasi lugas seperti yang ada di candi-candi yang lain, lebih halus dan
ukirannya lembut.
Bangunan
Makam Sunan Sendang Duwur sendiri memiliki arsitektur yang tinggi, yang
menggambarkan perpaduan antara kebudayaan Islam dan Hindu. Bangunan gapura
bagian luar berbentuk Tugu Bentar dan gapura bagian dalam berbentuk Paduraksa
atau mirip Candi Bentar di Bali. Bentuk candi seperti ini telah dikenal sejak
zaman Majapahit, seperti Gapura Jati Pasar dan Waringin Lawang. Sedangkan
dinding penyangga cungkup makam dihiasi ukiran kayu jati yang bernilai seni
tinggi dan sangat indah. Dua buah batu hitam berbentuk kepala Kala menghiasi
kedua sisi dinding penyangga cungkup.
Makam
Sunan terletak di Desa Sendang Duwur, Kecamatan Paciran, Lamongan. Di kompleks
yang sama, terdapat pula makam-makam para santri Sunan Sendang Duwur, yang
hingga kini dikeramatkan masyarakat sekitar. Walaupun komplek makam terletak di
dataran yang cukup tinggi, tetapi bisa dijangkau oleh kendaraan umum ataupun
pribadi. Sarana jalan yang sudah baik dan memadai memudahkan para pengunjung
yang ingin ke sana untuk berwisata ziarah.
Satu hal
lagi, daerah di sekitar makam sunan sangat subur. Bangunan rumahnya cukup
modern karena rata-rata pekerjaan mereka adalah pengrajin emas dan pemilik toko
emas di beberapa daerah, terutama di Lamongan sendiri.
Boyong
Masjid dalam Semalam
Terlepas
dari segi arsitektur candi dan makam Sunan Sendang Duwur yang bernilai seni
tinggi, sesungguhnya beliau telah menorehkan sejarah yang mengagumkan kepada
umat Islam setelahnya. Konon, masjid kuno peninggalan sunan dibangun dengan
cara yang aneh.
Kisahnya
demikian. Setelah mendapatkan gelar Sunan Sendang Duwur dari Sunan Drajad,
Raden Noer berharap bisa mendirikan masjid di Desa Sendang Duwur. Karena tidak
mempunyai kayu, akhirnya beliau melapor kepada Sunan Drajad. Dan oleh Sunan
Drajad, masalah ini disampaikan pula kepada Sunan Kalijogo yang mengarahkannya
pada Ratu Kalinyamat atau Retno Kencono di Mantingan, Jepara, yang saat itu
mempunyai masjid.
Ratu
Kalinyamat merupakan putri Sultan Trenggono dari Kraton Demak Bintoro. Suaminya
bernama Raden Thoyib (Sultan Hadlirin Soho) cucu Raden Muchayat, Syech Sultan
dari Aceh. Saat diangkat menjadi Bupati di Jepara, R. Thoyib tidak lupa
berdakwah dan menyiarkan agama Islam. Sehingga dibangun masjid megah di
wilayahnya pada 1531 Masehi. Banyak ulama dan kiai saat itu kagum terhadap
keindahan dan kemegahan masjid tersebut.
Setelah
itu Sunan Drajad memerintahkan Sunan Sendang Duwur pergi ke Jepara untuk
menanyakan masjid tersebut. Mungkin untuk menanyakan tentang konstruksi
bangunan masjid atau untuk menanyakan apakah masih ada kayu yang tersisa dari
masjid tersebut yang bisa digunakan. Tapi apa kata Mbok Rondo Mantingan saat
itu, “Hai anak bagus, mengertilah, aku tidak akan menjual masjid ini. Tapi
suamiku (saat itu sudah meninggal, Red) berpesan, siapa saja yang bisa
memboyong masjid ini seketika dalam keadaan utuh tanpa bantuan orang lain
(dalam satu malam), masjid ini akan saya berikan secara cuma-cuma.”
Mendengar
jawaban Mbok Rondo Mantingan, Sunan Sendang Duwur yang masih muda saat itu
merasa tertantang. Sebagaimana yang diisyaratkan padanya dan tentunya dengan
izin Allah, dalam waktu tidak lebih dari satu malam masjid tersebut berhasil
diboyong ke bukit Amitunon, Desa Sendang Duwur. Entahlah, bagaimana caranya
masjid itu bisa pindah? Tidak ada data yang jelas mengenai hal ini, apakah
dipindahkan secara gaib karena karamahnya atau dengan cara yang lain?
Masjid
Sendang Duwur pun berdiri di Bukit Amitunon, ditandai surya sengkala yang
berbunyi: "gunaning seliro tirti hayu" yang menunjukkan angka tahun
baru 1483 Saka atau Tahun 1561 Masehi.
Tapi
cerita lain menuturkan, masjid tersebut dibawa rombongan (yang diperintah Sunan
Drajad dan Sunan Sendang Duwur) melalui laut dari Mantingan menuju timur
(Lamongan) dalam satu malam. Rombongan itu diminta mendarat di pantai penuh
bebatuan mirip kodok (Tanjung Kodok) yang terletak di sebelah utara bukit
Amitunon di Sendang Duwur.
Rombongan
dari Mantingan itu disambut Sunan Drajad dan Sunan Sendang Duwur beserta
pengikutnya. Sebelum meneruskan perjalanan membawa masjid ke bukit Amitunon,
rombongan itu diminta istirahat karena lelah sehabis menunaikan tugas berat.
Saat
istirahat, sunan menjamu rombongan dari Mantingan itu dengan kupat atau ketupat
dan lepet serta legen, minuman khas daerah setempat. Berawal dari sini, sehingga
setiap tahun di Tanjung Kodok (sekarang Wisata Bahari Lamongan) digelar upacara
kupatan.
Dua
kisah di atas semuanya sangat logis. Jika kita menganut pendapat yang pertama,
maka kisah ini mirip dengan pindahnya istana Ratu Bilqis ke kerajaan Nabi Sulaiman
oleh Jin Ifrit. Artinya, perpindahan bangunan ini terjadi secara gaib. Apakah
kasus yang terjadi pada masjid Sunan Sendang Duwur ini pun demikian, yakni
dipindahkan secara gaib. Wallahu a’lam bil shawab!
Namun,
jika alasan kedua yang dipakai yaitu masjid tersebut digotong secara
beramai-ramai, maka hal ini menunjukkan bahwa masjid tersebut masih berbentuk
panggung. Sebab, jika tidak, rasanya sulit sekali bisa digotong. Sekali lagi,
tidak ada data yang jelas menunjukkan akan hal ini. Namun, penulis sendiri,
lebih meyakini pendapat yang pertama. Karena kalau kita berbicara masalah
kewalian atau karamah, maka otomatis kita membicarakan kelebihan-kelebihan yang
bersifat sufistik –yang kadang sulit dicerna oleh akal. Semua ini hanya bisa
dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kedekatan yang kuat terhadap Allah
SWT.
Selain
itu, kata-kata dari Mbok Rondo Mantingan kepada Sunan Sendang Duwur bahwa
masjid tersebut akan menjadi miliknya jika bisa dipindahkan dalam semalam tanpa
bantuan orang lain, menunjukkan bahwa Sunan Sendang Duwur melakukan
pekerjaannya itu sendirian. Kalau bekerja sendiri, rasanya sulit sekali jika
hali tu dilakukan secara indrawi, kecuali dengan ilmu gaib.
Yang
jelas, kini, masjid tersebut telah mengalami banyak renovasi karena usianya
yang sudah tua. Beberapa konstruksi kayunya terpaksa diganti dan yang asli
tetap disimpan di lokasi makam, di sekitar masjid. Meski direnov, arsitektur
masjid peninggalan wali ini masih tampak dan menggambarkan kebesaran pada
zamannya. Bangunan yang menunjukkan Hinduistis masih tampak di masjid dan
makam.
Salah
satu peninggalan Sunan yang lainnya yang masih tersisa adalah mimbar, bedug dan
empat gentong berukuran besar yang didapat dari kerajaan Majapahit.
Meski
halaman dan makam menyatu, masjid ini mempunyai halaman sendiri-sendiri. Pada
bagian masjid sendiri terdapat tiga pintu masuk untuk bagian depan. Di setiap
pintu masuk bertuliskan angka tahun. Pintu sebelah kanan misalnya bertuliskan
angka 1421 Saka, pintu tengah 1339 Hijriyah bertulisan arab, dan pintu sebelah
kiri bertuliskan angka 1920 Masehi saat masjid ini direnovasi.
Selain
peninggalan masjid yang terkenal, salah satu hal yang tak terlupakan dari Sunan
Sendang Duwur adalah ajarannya tentang "mlakuho dalan kang benar, ilingo
wong kang sak burimu" (berjalanlah di jalan yang benar, dan ingatlah pada
orang yang ada di belakangmu). Ajaran sunan ini dimaksudkan agar seseorang
selalu berjalan di jalan yang benar dan kalau sudah mendapat kenikmatan, jangan
lupa sedekah.
Ya,
konsep sedekah ala Sunan Sendang Duwur ini kemudian dipraktekkan oleh
orang-orang zaman sekarang, sehingga sekarang kita dengar tentang keajaiban
sedekah, mukjizat sedekah dan sebagainya. Jauh sebelum ini, Sunan Sendang Duwur
telah mengajarkannya dengan baik kepada para pengikutnya.
Demikian sebagian
kisah singkat tentang Sunan Sendang Duwur. Perjalanan dakwahnya sebagai seorang
sunan di Pulau Jawa hampir terlupakan oleh umat Islam sekarang ini. Kita
seolah-olah hanya mengenal sembilan wali. Padahal, peranan Sunan Sendang Duwur
dalam menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa tak bisa dilupakan. Banyak jejak
peninggalannya yang bisa kita lihat hingga sekarang, yang menunjukkan akan
kiprahnya yang sangat besar dalam perkembangan Islam di Jawa.
Komentar
Posting Komentar