Spiritual News (Ahad, 05 Maret 2017 // 11.17 // Penulis : MM).
SURABAYA - Hingar-bingar
lakon lahirnya banyak kampung di Surabaya hingga akhir abad 19 menyisakan
sebuah kampung legendaris, yaitu Desa Bungkul. Sejak 1920-an desa ini tergusur
dan hanya menyisakan sepetak kebun karena ada makam tokoh penyebar Islam, Sunan
Bungkul.
Bentuk
Desa Bungkul masih ditemukan di peta Surabaya terbitan 1872. Bahkan dalam peta
Surabaya 1900, desa ini tampak luas dan dipenuhi sawah di bagian barat.
Perkampungannya berada di sisi timur Kalimas. Batas selatan desa adalah di
persimpangan jalan Marmoyo sekarang, batas sebelah timur di Jl Adityawarman
sekarang, dan sebelah utara dibatasi dengan kampung Dinoyo. Ada nama Desa Darmo
di utara Desa Bungkul saat itu.
Siapa
sosok Sunan yang dimakamkan di Bungkul itu? Nama Mbah Bungkul ditemukan di
Babad Ngampeldenta terbitan 2 Oktober 1901 yang naskah aslinya terdapat di
Yayasan Panti Budaya Jogjakarta. Selain itu, juga ada Babad Risakipun Majapahit
Wiwit Jumenengipun Prabu Majapahit Wekasan Dumugi Demak Pungkasan yang disimpan
di Perpustakaan Reksopustoko Surakarta.
Sulitnya
menemukan sosok ini bahkan dibenarkan sejarahwan mendiang GH Von Faber pada
bukunya Oud Soerabaia, terbitan 1931. Faber mencatat kesan Bungkul dalam bahasa
Belanda yang kira-kira terjemahannya demikian: Orang-orang tua melarang menceritakan
apa pun tentang Bungkul ini. Pelanggaran terhadap larangan itu pasti diganjar
hukuman. Si pelanggar akan diancam oleh jin, diisap darahnya oleh kelelawar,
lehernya dipelintir dan sebagainya, demikian pula ibu, istri, dan anak-anaknya
akan mendapatkan celaka. Masih banyak ancaman mengerikan yang ditulis Von
Faber.
Saat
ini, penjelasan paling banyak bahwa sosok ini adalah keturunan Ki Gede atau Ki
Ageng dari Majapahit. Kompleks makam ini eksotis. Di dalamnya masih tersisa
suasana Kampung Bungkul di tengah kota yang sibuk. Ada gapura ala Majapahit,
terdapat mushala lama, gazebo bersosoran rendah. Belasan makam lain berada di
bawah rerimbunan pohon-pohon tua.
Tidak
ditemukan kisah yang sahih. Yang bisa di lakukan hanyalah mengumpulkan
kepingan-kepingan kisah tentang sosok ini dari beberapa catatan lama itu
sekalipun itu juga masih bisa diperdebatkan.
Selain
di Taman Bungkul, sejumlah makam pengikut Bungkul banyak tersebar di kawasan
Darmo. Sebagian sudah tergusur, beberapa masih bertahan. Salah satunya di
temukan 'tercecer' di depan Kantor Kecamatan Tegalsari Jl. Tanggulangan,
sekitar 100 meter dari Jl. Raya Darmo atau 300 meter sebelah utara makam Mbah
Bungkul. Namanya makam Mbah Kusir, diyakini kusirnya Mbah Bungkul.
Awalnya
Mbah Bungkul bernama Ki Ageng Supa. Sewaktu masuk Islam, berganti menjadi Ki
Ageng Mahmuddin. Ia diperkirakan hidup di masa Sunan Ampel pada 1400-1481. Supa
mempunyai puteri Dewi Wardah.
Sahibul
hikayat, Supa ingin menikahkan puterinya. Namun ia belum mendapatkan sosok yang
diharapkan. Lalu Supa mengambil delima dari kebunnya dan bernazar, siapa pun
lelaki yang mendapatkan buah ini, akan saya jodohkan dengan anakku, nazarnya.
Delima
itu dihanyutkan ke Sungai Kalimas yang mengalir ke utara. Alur air sungai ini
bercabang di Ngemplak menjadi dua. Di percabangan kiri menuju Ujung dan ke
kanan menjadi kali Pegirikan. Tampaknya delima itu `berenang` ke kanan. Karena
suatu pagi santri Sunan Ampel yang mandi di Pegirikan Desa Ngampeldenta,
menemukan delima itu.
Sang santri pun
menyerahkannya ke Sunan Ampel. Oleh Sunan Ampel delima itu disimpan. Besoknya,
Supa menelusuri bantaran Kalimas. Sesampainya di pinggiran, ia melihat banyak
santri mandi di sungai. Supa, yakin disinilah delima itu diselamatkan oleh salah
satu di antaranya. Apakah ada yang menemukan delima, tanya Supa setelah bertemu
Sunan Ampel. Raden Paku, murid Sunan Ampel dipanggil dan mengaku. Singkat
cerita Raden Paku dinikahkan dengan anak Supa
Komentar
Posting Komentar