Spiritual News (Kamis,
09 Maret 2017 // 21:17 // Penulis : MM).
Ki Ageng Ngerang, seorang ulama
asal Juwana yang disegani masyarakat karena berilmu tinggi. Saking saktinya Ki
Ageng Ngerang ini, Sunan Muria dan Sunan Kudus sampai berguru kepada beliau.
Pada suatu hari Ki Ageng Ngerang
mengadakan syukuran atas usia Dewi Roroyono yang genap dua puluh tahun. Semua
muridnya diundang, termasuk Sunan Muria, Sunan Kudus, Adipati Pathak Warak,
Kapa dan adiknya Gentiri. Tetangga dekat juga diundang, demikian pula sanak
kadang yang tinggal berjauhan.
Setelah tamu berkumpul Dewi
Roroyono dan adiknya yaitu Dewi Roro Pujiwati keluar menghidangkan makanan dan
minuman. Keduanya adalah dara-dara yang cantik rupawan. Terutama Dewi Roroyono
yang berusia dua puluh tahun, bagaikan bunga yang sedang mekar-mekarnya.
Bagi Sunan Kudus dan Sunan Muria
yang sudah berbekal ilmu agama dapat menahan pandangan matanya sehingga tidak
terseret oleh godaan setan. Tapi seorang murid Ki Ageng Ngerang yang lain yaitu
Adipati Pathak Warak memandang Dewi Roroyono dengan mata tidak berkedip melihat
kecantikan gadis itu. Sewaktu menjadi cantrik atau murid Ki Ageng Ngerang,
yaitu ketika Pathak Warak belum menjadi Adipati, Dewi Roroyono masih kecil,
belum nampak benar kecantikannya yang mempesona. Sekarang, gadis itu
benar-benar membuat Adipati Pathak Warak tergila-gila. Sepasang matanya hampir
melotot memandangi gadis itu terus menerus.
Karena dibakar api asmara yang
menggelora, Pathak Warak tidak tahan lagi. Dia menggoda Dewi Roroyono dengan
ucapan-ucapan yang tidak pantas. Tentu saja Dewi Roroyono merasa malu sekali,
terlebih ketika lelaki itu berlaku kurang ajar dengan memegangi bagian-bagian
tubuhnya yang tak pantas disentuh. Si gadis naik pitam, nampan berisi minuman
yang dibawanya sengaja ditumpahkan ke pakaian sang Adipati.
Pathak Warak menyumpah-nyumpah,
hatinya marah sekali diperlakukan seperti itu. Apalagi dilihatnya para tamu
menertawakan kekonyolannya itu, dia pun semakin malu. Hampir saja Dewi Roroyono
ditamparnya kalau tidak ingat bahwa gadis itu adalah putri sang guru.
Dewi Roroyono masuk ke dalam
kamarnya, gadis itu menangis sejadinya karena dipermalukan oleh Pathak Warak.
Malam hari tamu-tamu dari dekat sudah pulang ke tempatnya masing-masing. Tamu
dari jauh terpaksa menginap di rumah Ki Ageng Ngerang, termasuk Pathak Warak
dan Sunan Muria. Namun hingga lewat tengah malam Pathak Warak belum dapat
memejamkan matanya.
Pathak Warak kemudian bangkit
dari tidurnya dan mengendap-endap ke kamar Dewi Roroyono. Gadis itu disirepnya
sehingga tak sadarkan diri, kemudian melalui genteng Pathak Warak melorot turun
dan membawa lari gadis itu melalui jendela. Dewi Roroyono dibawa lari ke
Mandalika, wilayah Keling atau Kediri. Setelah Ki Ageng Ngerang mengetahui
putrinya di culik oleh Pathak Warak, beliau berikrar bahwa siapa saja yang
berhasil membawa putrinya itu bila perempuan akan dijadikan saudari Dewi
Roroyono dan bila laki-laki akan dijadikan menantu. Tak ada yang menyatakan
kesanggupannya, karena semua orang telah maklum akan kehebatan dan kekejaman
Pathak Warak. Hanya Sunan Muria yang bersedia memenuhi harapan Ki Ageng
Ngerang.
“Saya akan berusaha mengambil
Diajeng Roroyono dari tangan Pathak Warak,” kata Sunan Muria.
Tetapi, di tengah perjalanan
Sunan Muria bertemu dengan Kapa dan Gentiri, adik seperguruan yang lebih dahulu
pulang sebelum acara syukuran berakhir. Kedua orang itu merasa heran melihat
Sunan Muria berlari cepat menuju arah daerah Keling.
“Mengapa Kakang tampak
tergesa-gesa ?” tanya Kapa.
Sunan Muria lalu menceritakan
penculikan Dewi Roroyono yang dilakukan oleh Pathak Warak. Kapa dan Gentiri
sangat menghormati Sunan Muria sebagai saudara seperguruan yang lebih tua.
Keduanya lantas menyatakan diri untuk membantu Sunan Muria merebut kembali Dewi
Roroyono.
“Kakang sebaiknya pulang ke
Padepokan Gunung Muria. Murid-murid Kakang sangat membutuhkan bimbingan.
Biarlah kami yang berusaha merebut Diajeng Roroyono kembali. Kalau berhasil
Kakang tetap berhak mengawininya, kami hanya sekedar membantu saja.”
“Aku masih sanggup merebutnya
sendiri,” ujar Sunan Muria.
“Itu benar, tapi membimbing orang
memperdalam agama Islam juga lebih penting, percayalah pada kami. Kami pasti
sanggup merebutnya kembali.” kata Kapa ngotot.
Sunan Muria akhirnya meluluskan
permintaan adik seperguruannya itu. Rasanya tidak enak menolak seseorang yang
hendak berbuat baik. Lagi pula ia harus menengok para santrinya di Padepokan
Gunung Muria. Untuk merebut Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, Kapa dan
Gentiri ternyata meminta bantuan seorang Wiku Lodhang di pulau Seprapat yang
dikenal sebagai tokoh sakti yang jarang tandingannya. Usaha mereka berhasil.
Dewi Roroyono dikembalikan ke Ngerang. Hari berikutnya Sunan Muria hendak ke
Ngerang. Ingin mengetahui perkembangan usaha Kapa dan Gentiri. Di tengah jalan
beliau bertemu dengan Adipati Pathak Warak.
“Hai Pathak Warak berhenti kau!”
bentak Sunan Muria.
Pathak Warak yang sedang naik
kuda terpaksa berhenti karena Sunan Muria menghadang di depannya.
“Minggir! Jangan menghalangi
jalanku!” hardik Pathak Warak.
“Boleh, asal kau kembalikan Dewi
Roroyono!”
“Goblok! Roroyono sudah dibawa
Kapa dan Gentiri! Kini aku hendak mengejar mereka!” umpat Pathak Warak.
Untuk apa kau mengejar mereka?
Merebutnya kembali! jawab
Pathak Warak dengan sengit.
Kalau begitu langkahi dulu
mayatku, Roroyono telah dijodohkan denganku! ujar Sunan Muria sambil
pasang kuda-kuda.
Tanpa basa-basi Pathak Warak
melompat dari punggung kuda. Dia merangkak ke arah Sunan Muria dengan
jurus-jurus cakar harimau. Tapi dia bukan tandingan putra Sunan Kalijaga yang
memiliki segudang kesaktian. Hanya dalam beberapa kali gebrakan, Pathak Warak
telah jatuh atau roboh di tanah dalam keadaan fatal. Seluruh kesaktiannya
lenyap dan ia menjadi lumpuh tak mampu untuk bangkit berdiri apalagi berjalan.
Sunan Muria kemudian meneruskan
perjalanan ke Juwana, kedatangannya disambut gembira oleh Ki Ageng Ngerang.
Karena Kapa dan Gentiri telah bercerita secara jujur bahwa mereka sendirilah
yang memaksa mengambil alih tugas Sunan Muria mencari Roroyono, maka Ki Ageng Ngerang
pada akhirnya menjodohkan Dewi Roroyono dengan Sunan Muria. Upacara pernikahan
pun segera dilaksanakan.
Kapa dan Gentiri yang berjasa
besar itu diberi hadiah tanah di desa Buntar. Dengan hadiah itu keduanya sudah
menjadi orang kaya yang kehidupannya serba berkecukupan. Sedangkan Sunan Muria
segera memboyong istrinya ke Pedepokan Gunung Muria. Mereka hidup bahagia,
karena merupakan pasangan yang ideal.
Tidak demikian halnya dengan Kapa
dan Gentiri. Sewaktu membawa Dewi Roroyono dari Keling ke Ngerang agaknya
mereka terlanjur terpesona oleh kecantikan wanita jelita itu. Siang malam
mereka tak bisa tidur. Wajah wanita itu senantiasa terbayang. Namun karena
wanita itu sudah diperistri kakak seperguruannya mereka tak dapat berbuat
apa-apa lagi. Hanya penyesalan yang menghujam di dada. Mengapa dulu mereka
buru-buru menawarkan jasa baiknya. Betapa enaknya Sunan Muria, tanpa bersusah
payah sekarang menikmati kebahagiaan bersama gadis yang mereka dambakan. Di
sinilah hikmah ajaran agama agar lelaki diharuskan menahan pandangan matanya
dan menjaga kehormatan (kemaluan) mereka.
Andaikata Kapa dan Gentiri tidak
menatap terus kearah wajah dan tubuh Dewi Roroyono yang indah itu pasti mereka
tidak akan terpesona dan tidak terjerat oleh iblis yang memasang perangkap pada
pandangan mata.
Kini Kapa dan Gentiri benar-benar
telah dirasuki iblis. Mereka bertekad hendak merebut Dewi Roroyono dari tangan
Sunan Muria. Mereka telah sepakat untuk menjadikan wanita itu sebagai istri
bersama secara bergiliran. Sungguh keji rencana mereka. Gentiri berangkat lebih
dulu ke Gunung Muria. Namun ketika hendak melaksanakan niatnya ia dipergoki
oleh murid-murid Sunan Muria, sehingga terjadilah pertempuran dahsyat. Apalagi
ketika Sunan Muria keluar menghadapi Gentiri, suasana menjadi semakin panas
sebelum akhirnya Gentiri tewas menemui ajal di puncak Gunung Muria.
Kabar kematian Gentiri tersebar
dengan cepat ke berbagai daerah. Tetapi hal itu tidak membuat surut niat Kapa.
Kapa cukup cerdik. Dia datang ke Gunung Muria secara diam-diam pada malam hari
sehingga tidak ada seorangpun mengetahuinya. Kebetulan pada saat itu Sunan
Muria dan beberapa murid pilihan beliau sedang bepergian ke Demak Bintoro. Kapa
menyirep murid-murid Sunan Muria yang ditugaskan menjaga Dewi Roroyono,
kemudian dengan mudahnya ia menculik dan membawa wanita impiannya itu ke Pulau
Seprapat.
Pada saat yang sama, sepulangnya
dari Demak Bintoro Sunan Muria bermaksud mengadakan kunjungan kepada Wiku
Lodhang, Datuk di Pulau Seprapat. Kunjungan ini biasa dilakukannya dalam rangka
menjalin persahabatan dengan pemeluk agama lain. Terlebih lagi sang wiku pernah
menolongnya merebut Dewi Roroyono dari Pathak Warak.
Ternyata, kedatangan Kapa ke
pulau Seprapat itu tidak di sambut baik oleh Wiku Lodhang.
“Memalukan! Benar-benar nista
perbuatanmu itu! Cepat kembalikan istri kakang seperguruanmu sendiri itu!”
hardik Wiku Lodhang dengan marah. “Bapa guru ini bagaimana, bukankah aku ini
muridmu? Mengapa tidak kau bela?” “Apa? Membela perbuatan durjana?” bentak Wiku
Lodhang. “Sampai mati pun aku takkan sudi membela kebejatan budi walau
pelakunya itu muridku sendiri!”
Perdebatan antara guru dan murid
itu berlangsung lama. Tanpa mereka sadari Sunan Muria sudah sampai di tempat
itu. Betapa terkejutnya Sunan Muria melihat istrinya sedang tergolek ditanah
dalam keadaan terikat kaki dan tangannya. Sementara Kapa dilihatnya sedang adu
mulut dengan gurunya yaitu Wiku Lodhang. Wiku Lodhang menjauh, melangkah menuju
Dewi Roroyono untuk membebaskannya dari belenggu yang dilakukan Kapa. Bersamaan
dengan selesainya sang Wiku membuka tali yang mengikat tubuh Dewi Roroyono,
tiba-tiba terdengar jeritan keras dari mulut Kapa.
Ternyata, serangan dengan
mengerahkan aji kesaktian yang dilakukan Kapa berbalik menghantam dirinya
sendiri. Itulah ilmu yang dimiliki Sunan Muria. Mampu membalikkan serangan
lawan. Karena Kapa mempergunakan aji pamungkas yang ia miliki maka ilmu
tersebut akhirnya merengut nyawanya sendiri.
Maafkan saya Tuan Wiku
….. ujar Sunan Muria agak menyesal.
Tidak mengapa, sudah sepantasnya
dia menerima hukuman ini. Menyesal aku telah memberikan ilmu kepadanya.
Ternyata ilmu itu digunakan untuk melakukan kejahatan,” gumam sang
Wiku. Dengan langkah gontai sang Wiku mengangkat jenazah muridnya.
Bagaimanapun Kapa adalah muridnya, pantaslah kalau dia menguburkannya secara
layak. Pada akhirnya Dewi Roroyono dan Sunan Muria kembali ke padepokan dan
hidup berbahagia.
Nyai Ageng Ngerang diperkirakan
lahir sebelum tahun 1478 M. Nama kecilnya adalah Dewi Roro Kasihan dan nama
lengkapnya bernama Nyai Siti Rohmah Roro Kasihan Masyarakat lebih mengenalnya
dengan sebutan (gelar) Nyai Ageng Ngerang karena ia menjadi istri Kyai Ageng
Ngerang I Nyai Ageng Ngerang I adalah seorang tokoh ulama wanita wali nukbah
yang semasa dengan Dewan Walisongo yang menyebarkan agama islam di daerah
Juwana dan daerah lereng pegunungan Kendeng Pati Selatan sampai akhir hayatnya
dimakamkan di Pedukuhan Ngerang Desa Tambakromo,Pati,Jawa Tengah,makamnya dari
kota Pati ke arah Selatan sekitar 17 km. Nyai Ageng Ngerang merupakan salah
satu keturunan bangsawan kerajaan Majapahit Prabu Kertabumi Brawijaya V dan
mempunyai nasab sampai dengan Nabi Muhammad SAW generasi ke 25 dari keluarga
Bani Alawi Hadramaut. Menurut beberapa catatan Babad Tanah Jawi, Serat
Centhini, berbagai sumber buku, dan juga dari Keraton Surakarta Hadiningrat,
silsilah Nyai Ageng Ngerang adalah sebagai berikut:
Suami : Ki Ageng Ngerang I
/Sunan Ngerang atau Syeh Muhammad Nurul Yaqin ialah putra Ki Ageng Jabung trah
Sunan Ngudung ayah dari Sunan Kudus Ayah : Raden Bondan Kejawan Aryo Lembu
Peteng, Ki Ageng Tarub II adalah putra dari Prabu Brawijaya VIbu : Dewi
Retno Nawangsih Kakek nenek ayah: Prabu kertabumi Brawijaya V dan Putri Wandan
kuning Kakek nenek ibu: Ki Ageng Tarub atau Jaka Tarub dan Dewi Nawang
Wulan,seorang bidadari kahyangan.Saudara Kandung:.Ki Ageng Wonosobo atau Syeh
Abibdullah. Makamnya berada di Plobangan Selo merto Wonosobo .Ki Ageng Getas
Pendawa atau R.Depok atau Syeh Ngabdullah. Makamnya berada di Kahuripan
Purwodadi Grobogan.
Keturunan Kyai Ageng
Ngerang/Sunan Ngerang I dan Nyai Ageng Ngerang/Nyai Siti Rohmah Roro kasihan
adalah sebagai berikut :
1. Nyi Ageng Selo II atau Roro
Kinasih. Roro Kinasih menikah dengan Ki Ageng Selo,seorang legendaris yang
mempunyai karomah dapat menangkap petir. Ki Ageng Sela adalah keponakan
sekaligus menantu Nyai Ageng Ngerang. Keduanya mempunyai 6 putri dan 1 putra,
Ki Ageng Henis.2. Ki Ageng Ngerang II. Ki Ageng Ngerang II ini mempunyai putra
yakni: Ki Ageng Ngerang III,Ki Ageng Ngerang IV dan Pangeran Kalijenar.3. Ki
Ageng Ngerang III Ki Ageng Ngerang III menikah dengan Raden Ayu Panengah atau Nyi
Ageng Ngerang III, salahsatu putri Sunan Kalijaga makamnya berada di Laweyan
Solo dan mempunyai putra yang bernama Ki Ageng Penjawi yang juga disebut Ki
Ageng Pati karena mendapat hadiah dari Raja Pajang yang berupa tanah perdikan
yang sudah berbentuk wilayah dan berpenduduk banyak yang sebelumnya Pati vakum
pemimpin, sedangkan Ki Ageng Pemanahan mendapat hadiah Tanah Alas Mentaok dan
membuka Desa Mataram yang akhirnya menjadi sebuah Kerajaan Besar.
Ki Ageng Penjawi mempunyai putri
bernama Waskita Jawi atau Roro Sari yang menjadi permaisuri Panembahan Senopati
Ngabei Loring Pasar/Danang Sutawijaya yang bergelar Ratu Mas.Dan yang satu lagi
bernama Wasis Joyo Kusumo yang bergelar Adipati Pragola Pati. Sinuhun
Pakubuwono XIII dan Sultan Hamengkubuwono X adalah Keturunan Nyai Ageng Ngerang
generasi ke 19.
4. Roro Nyono Roro Nyono menikah
dengan Sunan Muria.Sunan Muria merupakan salah satu murid Sunan Ngerang,suami
dari Nyai Ageng Ngerang .Kisah cerita kehidupannya menjadi legenda masyarakat
Pati.5. Roro Pujiwat. Roro Pujiwat terkenal akan kecantikan dan
kesolehannya.Namun kisah hidupnya sangat tragis karena terbunuh oleh seorang
pemuda yang ditolak cintanya karena tak bisa memenuhi persyaratannya untuk
mengambil pintu kaputren kerajaan Majapahit dalam semalam.
Dok. Foto Pintu Gerbang Majapahit
yang terdampar Di Pati, Konon pintu ini dibawa Raden Bambang Kebo Hanyabrang
sebagai tanda bukti, agar diakui sebagai anak sah dari Sunan Muria. dan Pintu
Gerbang Majapahit itu ingin direbut oleh Raden Rangga yang berkepentingan
mempersembahkan pintu ini sebagai tanda cinta untuk pujaan hatinya Rara
Pujiwat, putri Sunan Ngerang I. Makam Nyai Ageng Ngerang di Ngerang,Tambakromo
kabupaten Pati Jawa Tengah didekat lereng pegunungan Kendeng. Ketika Nyai Ageng
Ngerang pindah ke daerah Tambakromo lereng pegunungan kendeng ini beliau sudah
berumur senja dan sampai akhir hayatnya beliau dimakamkan disini.Umur beliau
diperkirakan hampir 100 tahun. Beliau seorang wanita yang sabar dan kuat dalam
menghadapi rintangan,sifatnya welas asih kepada setiap orang bahkan kepada
orang yang membenci dan menentang ajarannya,suka membela kebenaran dan suka
menolong kepada orang yang lemah.
Tak ada catatan yang pasti tarikh
wafatnya beliau.Namun sudah menjadi tradisi setiap 1 Suro dilaksanakan Haul
wafatnya.Acara haul selalu dihadiri kerabat Keraton Surakarta Hadiningrat.(MM)
Komentar
Posting Komentar